Memahami Kembali Hubungan Antara Gereja dan Politik Sebagai Bentuk Kritik Terhadap Politik Praktis di Lingkup Gereja Toraja
Oleh : Paul Cakra
Pendahuluan
Manusia pada hakikatnya adalah manusia politik (zoon politikon), sehingga seluruh dinamika kehidupan manusia pasti selalu berkenaan dengan politik, baik sebagai subjek yang berpolitik maupun sebagai objek yang digerakan oleh politik itu sendiri. Dengan jelas dapat dikatakan bahwa dinamika kehidupan manusia dalam suatu negara pasti berada dalam sirkulasi subjek dan objek sekaligus. Idealnya, baik yang dipercayakan sebagai pemimpin politik maupun sebagai masyarakat yang dikendalikan oleh politik itu sendiri, keduanya adalah subjek (pelaku) politik. Artinya, mereka yang dipercayakan mengarahkan dan mengatur politik negara jelas adalah subjek yang selalu bergelut dengan politik secara konkret , akan tetapi masyarakat umum juga adalah subjek, artinya segala aspek kehidupan dan aktivitas masyarakat membawa pengaruh bagi dunia politik baik secara langsung maupun tidak langsung, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap aktivitas masyarakat baik dalam dunia pendidikan, agama, sosial, hukum, dan lain sebagainya menjadi tanggung jawab politik untuk menata, mengendalikan, dan mengarahkan semua aspek kehidupan tersebut demi kebaikan bersama, sehingga dengan singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah penentu politik itu sendiri dan sebagai fungsi kontrol politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu juga, baik pemimpin politik maupun masyarakat, keduanya adalah objek dalam dunia politik. Masyarakat dalam segala aspek kehidupannya adalah jelas sebagai objek (sasaran) yang harus diatur dan dikendalikan oleh kebijakan dan konstitusi politik negara, sedangkan para pemimpin politik sendiri adalah objek juga bagi masyarakat untuk dijadikan sasaran dan destinasi aspirasi serta tuntutan kebutuhan hidupnya. Jadi, ketika masyarakat adalah subjek maka pemerintah menjadi objek, dan sebaliknya juga ketika pemerintah atau pemimpin politik adalah subjek maka masyarakat adalah objeknya. Gambaran di atas setidaknya menjelaskan bahwa dunia politik mempunyai peran yang sangat signifikan dalam realita kehidupan suatu negara, oleh karena politik itu sendiri adalah ibarat kunci kehidupan negara yang menjadi penentu arah kebijakan dan masa depan negara. Uraian di atas juga menggambarkan bahwa semua aspek kehidupan manusia dalam suatu negara berada dalam kontrol politik yang secara khusus diatur dalam berbagai kebijakan dan konstitusi.
Anggapan bahwa politik adalah sesuatu yang kotor bukanlah tanpa dasar.Melihat kelakuan dari para elit politik -khususnya di Indonesia- rakyat mulai bersikap skeptis dan memandang bahwa politik tidak ada hubungannya dengan kehidupan rohani.Sudah sejak lama pula politik dianggap sebagai sesuatu yang hanya berguna bagi pihak yang berkuasa. Rakyat kecil tidak terlalu ambil pusing terhadap carut marut kehidupan politik karena merasa bahwa rakyat sama sekali tidak merasakan manfaat apa-apa daripadanya.
Di dalam Kekristenan, politik dulunya juga tidak dipedulikan. Menurut Andreas A. Yewangoe, salah satu sebabnya adalah akibat dari pietisme yang beranggapan bahwa politik hanya berurusan dengan hal duniawi dan tidak pantas dilakukan oleh orang Kristen. Kesalehan Pietisme yang sangat mendambakan keselamatan tentu saja tidak merasa perlu melihat politik sebagai bidang yang harus dihadapi. Di dalam perkembangannya, pemahaman gereja terhadap politik mulai berubah. Akan tetapi, sikap politik gereja di masa lalu juga dikritisi oleh banyak orang. Sikap politik gereja di masa lalu oleh Gerrit Singgih disebut telah menempatkan orang dalam struktur kekuasaan pemerintah, berlindung kepada penguasa. Berlindung kepada penguasa menurut Zakharia Ngelow yang mengutip Gerrit Singgih, merupakan “pengandalan yang berlebihan terhadap Roma 13.” Ketaatan terhadap pemerintah dalam Roma 13 dipahami sebagai ketaatan mutlak. Terkait dengan itu, apakah teologi dan gereja secara khusus, sama sekali tidak diperkenankan atau justru harus berurusan dengan dunia politik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pun akan mendapati beberapa jawaban, antara lain: pertama, gereja dan negara adalah lembaga otonom, oleh karena itu, urusan negara tidak boleh ada campur tangan dari gereja dan urusan gereja tidak boleh ada campur tangan dari negara. Kedua, gereja adalah representasi kerajaan Allah di dunia, oleh sebab itu negara harus tunduk kepada gereja sebagai institusi yang lebih superior dari negara. Negara hanya mendapat legitimasi manusia dari dunia fana, tetapi gereja mendapat legitimasi ilahi, sehingga gereja harus berkuasa dan mengarahkan negara. Ketiga, gereja adalah salah satu institusi yang berada di dalam negara, oleh karena itu wajar apabila gereja harus menyesuaikan aturan main kelembagaannya berdasarkan apa yang sudah ditetapkan oleh konstitusi negara. Akan tetapi di samping itu juga, karena gereja berada dalam kesatuan sistem dengan negara, maka gereja juga mempunyai andil untuk ikut terlibat dalam urusan pemerintahan negara. Ketiga jawaban itu masing-masing memiliki nilai positif dan negatifnya, dan tak dapat dipungkiri juga bahwa ketiga jawaban itu setidaknya merupakan representasi sikap gereja secara umum. Untuk menemukan titik temu dan jawaban yang relevan dalam hubungannya dengan politik dan negara, maka penjelasannya akan dipaparkan selanjutnya dalam makalah ini.
Harus diakui bahwa gereja, termasuk Gereja Toraja belum melaksanakan fungsinya secara maksimal dalam kaitannya dengan peran politiknya walaupun Gereja Toraja menyadari bahwa bidang politik juga merupakan arena misi gereja untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat. Peran politik Gereja Toraja selama ini hanya sebatas “surat penggembalaan” ketika ada pemilu, baik itu pemilihan presiden, legislatif dan kepala daerah , tanpa memberi pendampingan yang lebih mendalam yakni pendampingan persuasif terhadap warga jemaat atau masyarakat, sehingga yang terjadi adalah warga jemaat atau masyarakat dengan mudah dijadikan oleh elit-elit politik sebagai “komoditi politik”. Kenyataan lain yang menggambarkan lemahnya peran politik Gereja Toraja sekarang ini adalah Gereja belum berani mengkritik pemerintah jika ada kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat, kemudian kurangnya pengawasan terhadap praktek politik gelap oknum tertentu yang menjadikan gereja sebagai wadah untuk berkampanye. Padahal sangat jelas dikatakan dalam Pengakuan Gereja Toraja Bab VII ayat 6 bahwa “Pemerintah dan lembaga-lembaganya adalah alat ditangan Tuhan untuk menyelenggarakan kesejahteraan, keadilan dan kebenaran serta memerangi kejahatan dalam tanggungjawab kepada Tuhan dan kepada rakyat.Oleh sebab itu kita wajib mendoakan dan membantu pemerintah agar dapat menjalankan tugasnya sesuai kehendak Allah untuk kesejahteraan manusia”.Berangkat dari pengakuan tersebut, maka dapat kita katakan bahwa gereja memiliki tugas yang amat penting dalam mengawal jalannya pemerintahan di Indonesia.
Gereja dan Politik
Defenisi Politik secara umum
Jika kita berbicara tentang politik, hal itu tidak akan terlepas dari suatu negara yakni Yunani di mana akar kata politik ini berasal dari kata Yunani yakni polis yang artinya kota atau suatu komunitas. Istilah lain dari kata politik dalam bahasa Yunani ialah politeia yang berarti warga negara, negara, kesejahteraan atau way of life. Jadi politik pada mulanya berarti suatu masyarakat yang berdiam di suatu kota. Dalam perkembangannya, pengertian politik semakin meluas dan tidak hanya memiliki makna tunggal saja (terfokus pada satu pengertian saja), namun di zaman yang semakin modern ini, politik kemudian memiliki banyak makna dan pengertian hal ini dibuktikan dengan banyaknya pendapat para ahli tentang politik itu sendiri. Praktik-praktik politik sebenarnya sudah ada sejak dulu (sebelum masehi) hal ini dibuktikan dengan penemuan-penemuan tulisan politik di India (sastra Dhamasastra dan Arthasastra tahun 500 sM) dan Cina (tulisan Kung Fu Czu 500 sM). Bukan hanya di India dan Cina, pada tahun 450 Sm di Yunani usaha yang juga serius dalam berpolitik dilakukan namun pada saat itu hanya berfokus pada kenegaraan yang terus berkembang ke persoalan keadilan dan hukum. Salah satu kota di Yunani, yaitu Athena menjadi kota lahirnya politik karena saat itu, kota tersebut sudah memiliki perundang-undangan (yang dibuat dalam sidang Ecclesia yang diadakan 10 tahun sekali dan wajid diikuti oleh laki-laki yang berumur 20 tahun ke atas), sistem dan kelembagaan politik meskipun masih sangat sederhana.
Ebenstein menjelaskan bahwa politik adalah systematic analisis of government, its procces, form of organization, institutions and purposes. Dari penjelasan Ebenstein di atas, kita dapat memahami bahwa politik adalah suatu hal yang diperlukan untuk melakukan penganalisisan kepemerintahan secara sistematis sehingga dapat menjelaskan bentuk-bentuk dan maksud/tujuan organisasi.Dalam pemahaman modern, politik juga sering diartikan sebagai suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan publik, hal ini sejalan dengan pemikiran Deutch tentang pengertian politik.Dan juga dalam zaman modern ini, politik dipahami sebagai kekuasaan Negara yang diwakili oleh partai politi pemenang dalam rangka penyambung tangan masyarakat kepada pemerintah.
Antara abad keenam belas sampai awal abad kedua puluh, politik diartikan lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang dipahami orang-orang Yunani.Jean Bodin (1530-1596), seorang filosof politik Prancis, memperkenalkan istilah “ilmu politik” (science politique). Defenisi tentang politik, juga diungkapkan oleh Montesquieu (1687-1755), yang mengemukakan bahwa semua fungsi peemerintahan dapat dimasukkan ke dalam kategori legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurut Emanuel Gerrit Singgih politik adalah seni yang bersangkut-paut dengan proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang berbeda kepentingannya, di mana pengambilan keputusan ini menyangkut masa depan orang banyak. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut, dibutuhkan kaidah-kaidah moral yang disebut sebagai etika politik.
Politik Menurut Teologi Kristen
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kristen hampir memandang politik sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan di dalam geraja karena akan merusak kesucian gereja karena politik itu seringkali dianggap sebagai sesuatu barang yang “kotor” dan berkonotasi negatif. Mengapa demikian? Hal seperti itu sering muncul karena kurangnya pemahaman yang baik terhadap politik itu sendiri, olehnya itu saat ini saya akan mengajak kita untuk memahami atau memandang politik dari sisi teologi Kristen. Jika kita berbicara tentang teologi Kristen berarti hal tersebut tidak akan lepas dari sebuah buku yang dipercaya sebagai “God’s Words” (alkitab) yang menjadi landasan dasar orang Kristen dalam bertindak secara khusus dalam rana berpolitik. Di dalam alkitab, kegiatan-kegiatan berpolitik yang dilakukan oleh beberapa tokoh maupun Yesus itu sendiri sangat jelas diperlihatkan, hal ini berarti bahwa politik dari sudut pandang Kristen itu adalah hal yang juga tidak boleh kita lupakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contohnya saja dalam Yeremia 29:7 “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian penataan politik adalah tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.
Jika kita lihat dari sudut pandang Teologi Kristen, politik dianggap sebagai upaya dan proses merealisasikan kehendak Allah dalam tatanan yang lebih luas dan menyeluruh sehingga dalam rangka merealisasikan kehendak Allah tersebut diperlukan pemahaman bahwa politik adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Nah, ketika pemahaman seperti itu sudah muncul dalam diri setiap manusia maka pemikiran awal tentang politik adalah “kotor” akan berubah dan berbalik menjadi sebuah wadah untuk merealisasikan dan menyatakan kehendak Allah bagi Negara.
Politik Menurut Alkitab (PL dan PB)
Dalam perjanjian lama kalau kita berbicara tentang politik, berarti kita juga berbicara tentang kekuasaan. Konsep berpolitik tokoh-tokoh dalam PL adalah berkuasa (dalam banyak arti). Kekuasaan yang dimaksud di sini ialah kemungkinan untuk mempengaruhi atau memaksakan keinginannya kepada orang lain tanpa persetujuan awal. Namun teologi PL memahami bahwa kekuasaan adalah milik Allah secara tunggal karena hanya Dialah yang berkuasa atas hidup manusia. Bangsa Israel dalam PL menganut sistem pemerintahan Teokrasi yang dimulai oleh pemanggilan Abaraham (Kej 12) hingga berdiri menjadi satu bangsa, Allahlah yang langsung menjadi Raja mereka. Hal ini jelas dari perkataan Musa dalam Kel 15 yang memperlihatkan Keagungan Tuhan sebagai Raja Israel. Bukti lain yang bisa kita temukan sekaitan dengan system teokrasi ialah dalam yesaya 6:1-13, di situ kita bisa melihat bahwa nabi Yesaya yang adalah penasihat rohani bagi raja mengakui bahwa Tuhanlah yang berkuasa sebagai Raja (ay 1), pengakuan Tuhan sebagai Raja tersebut menekankan kebijakan Tuhan untuk mengatur pergerakan bangsa-bangsa sesuai kehendak-Nya. Sistem pemerintahan Teokrasi ini terjadi karena adanya kepercayaan monoteisme, karena bagi paham mereka teokrasi akan sangat jelas jika penguasanya adalah tunggal meski ada banyak sifat dan hakikat penguasa yang khas di sini Tuhan menjadi penguasa tunggal dan manusia berada di dalam kekuasaan-Nya. Konsep teokrasi memahami bahwa kekuasaan sejati hanya berada pada Yahweh, dan setiap orang yang berkuasa (imam, nabi, dan raja) hanyalah mengambil bagian dalam kekuasaan Yahweh. Sebagai sang Raja, Tuhanlah sesungguhnya mengatur tatanan politik dunia dalam perspektif teologis. Seiring dengan perkembangan pemikiran bangsa Israel, konsep politik dalam pemerintahan teokrasipun mulai perlahan-lahan ditinggalkan dan beralih ke konsep kerajaan.
Dalam perjanjian baru, kegiatan atau praktek politik juga dapat kita temukan dalam beberapa peristiwa, baik berhubungan dengan para rasul, maupun dengan Yesus itu sendiri. Nah, saat itu penulis hanya akan berfokus pada politik Yesus. Pada zaman-Nya Yesus juga tidak menutup diri terhadap praktek-praktek politik, justru Yesus pada suatu peristiwa memberikan nasihat kepada banyak orang untuk tetap membuka diri terhadap praktek-praktek politik. Bukti yang real dari alkitab (PB) tentang hal tersebut bisa kita lihat pada saat Yesus menjawab pertanyaan orang-orang tentang apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak (Markus 12:17; Matius 22:21). Jawaban Yesus itu amat bijaksana dan sama sekali tidak menunjukkan suatu pemisah yang tegas antara kuasa Kaisar dengan kuasa Allah, tetapi menyingkapkan sebuah relasi saling mempengaruhi antara keduanya. Kalau dikatakan bahwa kepada kaisar harus diberikan apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah, maka relasi feed back itu terletak pada hal pembatasan kedua kuasa itu. Kuasa Allah berperan untuk membatasi kuasa kaisar dan kuasa kaisar yang terbatas menunjukkan bahwa kuasa Allahlah yang mutlak. Politik Yesus adalah politik moral dan tidak merebut kekuasaan atau kedudukan dalam pemerintahan.Yesus lebih berfokus kepada politeuma yang penekanan polotiknya mengarah kepada nilai-nilai kerajaan Allah di dunia ini, misalnya terwujudnya keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan pengangkatan harkat dan martabat manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-28).Secara singkat digambarkan bahwa politik Yesus adalah politik secara organism (pemberdayaan moral, inspirasi dan transformasi nilai-nilai, bukan secara instansi duniawi).
Hubungan Gereja dan Negara dalam kaitannya dengan Politik
Istilah Gereja berasal dari bahasa portugis igreja dan melalui bahasa latin ecclesia, yang keduanya berasal dari bahasa Yunani ekklesia (εκκλησία) yang berarti dipanggil keluar. Dalam perjanjian lama, gereja dapat didefiniskan sebagai persekutuan orang-orang yang telah dipanggil atau dikumpulkan.Sedangkan dalam perjanjian baru, gereja diartikan sebagai perkumpulan orang percaya (Kristen) sebagai jemaat untuk menyembah Tuhan Yesus Kristus. Dengan berangkat dari pemahaman di atas, maka dapat kita definisikan bahwa Gereja adalah kumpulan umat pilihan Allah yang telah diselamatkan untuk memuji dan memuliakan namaNya, terikat oleh perjanjian Allah untuk melayani Dia dalam dunia. Gereja memiliki tugas utama melaksanakan Amanat Agung (Mandat Penginjilan) dan Mandat Budaya.
Dalam kaitannya dengan negara, jelas kita lihat bahwa gereja juga diharapkan untuk turut serta dalam menciptakan kesejahteraan kota serta mengawasi jalannya roda kepemerintahan sehingga boleh berjalan dengan baik. Menurut Calvin sebagaimana yang dikutip oleh Andreas A. Yewangoe, hubungan Gereja dengan Negara merupakan dua lingkaran yang pusatnya adalah Yesus Kristus. Jadi baik negara maupun gereja berpusatkan satu pusat saja yaitu Yesus Kristus dan ketika pelayanan kedua lembaga tersebut benar-benar dipusatkan kepada Yesus Kristus maka tujuan politik Yesus akan terwujud dengan baik. Dengan kata lain, baik pelayanan gereja maupun pelayanan negara bersumber dari sumber yang satu yaitu Yesus Kristus. Menurut Julianus Mojau dalam konteks Indonesia yang majemuk, peran politis yang cukup prospektif adalah Gereja menjadi Komunitas iman basis yang memberdayakan warga Jemaat dan masyarakat sehingga memiliki kesadaran politik kritis terhadap segala bentuk kekuasaan hegemonis yang selalu ingin megkorup harkat dan martabat mereka. Gereja tidak bisa eksis dan berkembang tanpa ada teologi, dan teologi juga tidak akan tercipta dan mempunyai sasaran hasil apabila tidak ada gereja, sehingga dalam makalah ini, teologi dan gereja dianggap sebagai suatu kesatuan dalam konteks kenegaraan. Jurgen Moltmann mengklaim bahwa teologi bisa saja menjadi naif dan tidak peka/menyadari politik, tetapi teologi tidak boleh lepas keterhubungannya dengan politik, atau dengan kata lain, teologi tidak boleh menutup mata terhadap realitas politik. Menurut Moltmann, ketika teologi merefleksikan tentang dimensi politiknya, maka ia akan selalu menemukan bahwa dimensi ini telah terisi oleh kepentingan politik yang telah mendominasi agama, teologi, dan gereja itu sendiri. Moltmann mengatakan bahwa apabila teologi melepaskan diri dari kebutuhan dan tuntutan politik yang lazim, maka tidak akan ada teologi pembebasan – tidak ada pembebasan manusia di dalam masyarakat. Tak dapat dipungkiri bahwa pendirian dan ajaran agama juga pasti akan mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Untuk itulah, maka teologi yang bertanggung jawab harus menyadari dimensi politik yang melekat dalam dirinya sendiri dan dalam kehidupan gereja.
Menurut Eddy Kristiyanto, manusia perlu bersikap politis. Dalam keterlibatan-Nya dengan dunia dalam sejarah manusia, maka Allah yang menjelma dalam diri Yesus Kristus tidak bersikap netral, melainkan melakukan suatu affirmative action yang nyata, dengan memihak manusia yang lemah dan berdosa, agar mereka diselamatkan melalui penebusan. Pilihan tersebut menyangkut nasib orang banyak yang hendak dibela, sehingga dengan jelas dapat dinyatakan bahwa Allah itu politis.Dengan demikian, bersikap politis merupakan sakramen, yakni tanda dan sarana yang mengantar pada pembebasan dan penyelamatan. Suatu keterlibatan (apa pun jenis dan bentuknya) yang tidak membiarkan penderitaan dunia tenggelam dalam urusan rutin harian. Suatu hal yang berbeda dengan teologi klasik yang hanya berpuas diri dengan paham spekulatif dan tidak bergerak untuk bertindak. Kegiatan keterlibatan manusia beragama sama sekali bukanlah kiprah “intelektual” yang borjuis, yang tergila-gila dengan gagasannya yang cemerlang, juga bukan seluruh hingar bingar bisnis Kekristenan. Keterlibatan itu sepatutnya bertumpu pada kenangan akan Dia yang peduli pada dunia, yang dicintai-Nya secara total. Keterlibatan yang didasarkan pada ketersentuhan yang demikian itu, tentu tidak dapat netral, melainkan harus memihak. Dengan demikian, jika agama tetap tenang dan tidak perduli melihat praktik-praktik ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, kemiskinan, dan proses pembusukan masyarakat, berarti agama itu sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri dan sama sekali tidak relevan untuk kehidupan.Kekristenan harus menjadi agama Mesianis, bukan menjadi agama yang borjuis. Dalam konteks ini, gereja memainkan peran dan fungsi politik identitas.Politik identitas adalah bagian dari gerakan politik modern yang memperjuangkan hak-hak minoritas, komunitas dan kelompok sosial tertentu di tengah gempuran arus liberalisme, sebagai usaha untuk menangkal bahaya tirani mayoritas liberal dalam arus globalisasi dan post-modern saat ini.
Politik Gereja Toraja dan Implikasinya
Selayang Pandang berdirinya Gereja Toraja
Berdirinya Gereja Toraja berawal dari benih injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia), yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, dan Sangir. Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus pada tanggal 16 Maret 1913 berlangsung baptisan terhadap 23 anak Toraja yang dipimpin oleh J. Kelling. Pasca pembaptisan tersebut injil semakin luas diberitakan oleh utusan-utusan GZB (Antonie Aris Van De Loosdrecht, J. Sylstra, J.D Van Dijk, H.C. Heusdens, H.J. Van Weerden. Dengan pelayanan para zendeling tersebut maka injil di empat sektor ini boleh ditabur dengan baik.
Pada tahun 1947 yang mana Indonesia baru saja diproklamasikan sebagai negara merdeka, dan masih mengalami masa revolusi atau perang kemerdekaan, babak baru perkembangan injil di Toraja, dimulai. Pada tanggal 25-28 Maret 1947 berkumpullah 35 jemaat dari 18 klasis hasil pekabaran Injil utusan GZB di Rantepao, dan diadakanlah sidang majelis sinode I untuk membahas tentang realisasi rencana GZB membentuk sebuah gereja di daerah pelayanannya itu. Sidang tersebut dipimpin oleh J.D Van Dijk (Ketua I), Pdt. Peiter Sangka’ Palisungan (Ketua II), dan Palinggi’ (Notulen). Salah satu hasil sidang tersebut ialah memilih dan menetapkan nama gereja di Toraja dengan nama Gereja Toraja yang sekarang berumur 70 tahun.
Konsep Politik Gereja Toraja
Dalam konsultasi Pimpinan Gereja Toraja tentang Gereja dan Politik yang diadakan pada tanggal 19-22 Agustus 1998 di Tangmentoe, Gereja Toraja menyadari bahwa bidang politik juga merupakan arena misi Gereja untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara di mana gereja berada. Dari hasil konsultasi tersebut maka arah pemikiran politik Gereja Toraja dimuat dalam visi dan misi berikut.
Visi
Visi Gereja Toraja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah sehingga nama Tuhan dikuduskan, kehendak-Nya (keadilan, kebenaran, demokrasi, HAM, partisipasi dalam pemeliharaan lingkungan hidup) diberlakukan. Orientasi kepedulian dan perhatian gereja haruslah terarah kepada kepada kepentingan rakyat banyak dan merasa terpanggil untuk berada di pihak mereka yang tertindas, tercecer, terjepit, dsb. Atau dengan kata lain, gereja terpanggil untuk berada di pihak saudara-saudara Kristus yang paling hina.
Misi
Visi Gereja Toraja tersebut di atas barulah bermakna bila disaksikan dalam pelbagai cara dan di berbagai lapangan hidup yang kita sebut misi, yaitu: Gereja yang diutus dan berada di dunia yang majemuk, dituntut untuk melaksanakan tugas kenabiannya secara positif, kritis, kreatif, dan realistis dalam berbagai segi kehidupan, antara lan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dalam hubungannya dengan pemerintah, maka gereja terpanggil untuk menyatakan sikap yang jelas, yaitu mendukung pemerintah (bd. Rm 13), namun secara kritis menegur dengan kasih pemerintah yang tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Tuhan.
Implikasi Politik Gereja Toraja
Jika kita perhatikan konsep politik gereja Toraja di atas, maka dapat kita katakan bahwa gereja Toraja sangat memiliki perhatian besar terhadap perkembangan politik di Indonesia. Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa Gereja Toraja dalam melaksanakan konsep tersebut masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Salah satu kelemahannya ialah pada saat pemilu tahun 2010 di Toraja Utara, proses pengawalan gereja terhadap pesta demokrasi tersebut dinilai masih kurang, mengapa? Karena gereja hanya berfokus untuk menyebarkan surat penggembalaan tentang pemilu namun outputnya sama sekali tidak ada. Tindak lanjut dari surat tersebut sama sekali tidak diperhatikan malahan setelah menyebaran surat tersebut gereja kemudian sibuk dengan rutinitasnya yakni dengan “gembira ria” mengadakan kegiatan pesparawi dalam rangka pekan spiritual. Padahal moment inilah Gereja Toraja harus memainkan peran politiknya yakni memperlengakapi rakyat kecil agar paham tentang politik sehingga mereka tidak menjadi korban dari elit-elit politik, Gereja harus berusaha untuk menjadi mediator dalam penyelesain konflik, dan menyatakan suara profetisnya demi terwujudnya politik Yesus. Hal selanjutnya adalah Gereja Toraja belum memainkan peran profetisnya ketika ada kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat. Bahkan cenderung pihak gereja “bermesraan” dengan pemerintah.
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan melihat materi di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa peran politik Gereja Toraja, dalam implementasinya ada kesenjangan antara idealitas dan realitas. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan politik terhadap warga jemaat serta tidak optimalnya fungsi pembinaan dan pelayanan mental spiritual Gereja Toraja yang hanya sebatas ritualistik, mengakibatkan warga yang bersikap pragmatis sehingga rentan terhadap money politic dan dengan mudah dijadikan komoditi politik oleh elit-elit politik serta mengakibatkan pemahaman yang sempit dikalangan warga gereja tentang politik. Melemahnya peran profetis Gereja Toraja sangat dipengaruhi oleh pola hubungan Gereja dengan pemerintah yang bersifat model asimilasi, membuat Gereja Toraja sering tergantung terhadap pemerintah dalam merealisasikan programnya.sehingga membutuhkan pemikiran yang konstuktif agar Gereja Toraja dapat menjalankan misinya dengan baik dalam bidang politik untuk menciptakan damai sejahtera untuk semua.
Saran
Memaksimalkan pendidikan politik terhadap warga gereja yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Warga Gereja.
Perlunya mengevaluasi pola hubungan gereja dengan pemerintah agar peran profetis gereja toraja berjalan maksimal.
Memaksimalkan pembinaan dan pendampingan pastoral terhadap warga gereja toraja yang terlibat dalam politik praktis baik dalam lembaga legislatif maupun eksekutif.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell Nelson, John, Mojau, Julianus dan J. Ngelow, Zakharia, peny. Teologi Politik: Panggilan Gereja di Bidang Politik Pascaorde Baru. Makassar: Oase Intim. 2013.
Gerrit Singgih, Emanuel. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1997.
BPMS Gereja Toraja. Pengakuan Iman Gereja Toraja. Rantepao: PT Sulo. 2008.
Lugo, Gunche. Manifesto Politik Yesus. Yogyakarta: Andi. 2009.
Sirait, Saut. Politik Kristen di Indonesia (dari tinjauan etis). Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011.
Clymer Rodee, Carlton, dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 2000.
Mali, Mateus. Konsep berpolitik orang Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.2004.
Theodorus Mawene, Mathinus. Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
Budi Kleden, Paulus. Teologi Terlibat; Politik dan Budaya dalam Terang Teologi Kupang: Ledalero. 2003.
W.R.F, Browning. Kamus Alkitab, Cet. Ke- 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2007.
Mojau, Julianus. Teologi Politik Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius. 2009.
J. Moltmann, The cross and civil religion, dalam “Religion and Political Society.” (New York: Harper & Row 1974: 19. Dikutip dalam Kent Greenwalt, Religious Convictions and Political Choice (New York: Oxford University Press. 1988.
Moltmann, Jürgen. The crucified God: The cross of Christ as the foundation and criticsm of christian theology. Translated by R. A. Wilson dan John Bowden. New York: SCM Press. 2001.
Kristiyanto, Eddy. Sakramen politik: Mempertanggungjawabkan memoria. Yogyakarta: Lamalera. 2008.
Baghi, Felix. Alteritas: Pengakuan, hospitalitas, persahabatan. Flores: Ledalero. 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar